Sejarah Tempe di Indonesia, Dari Dapur Tradisional ke Warisan Budaya Dunia. Tempe—fermentasi kedelai berlapis jamur Rhizopus—lebih dari sekadar lauk pendamping nasi. Ia adalah penanda identitas kuliner Nusantara yang merangkum nilai gotong royong, kemandirian pangan, hingga inovasi ekonomi kreatif.

Popularitasnya melonjak lagi sejak 2020‑an ketika tren “plant‑based protein” mendunia. Di Indonesia sendiri, tempe dikonsumsi hampir setiap lapisan masyarakat: dari warteg hingga restoran bintang lima.

Baca juga: Resep Warisan Nusantara: Kekayaan Kuliner Tradisional yang Tak Tergantikan

Kita akan mengulas perjalanan 400 tahun tempe, lengkap dengan data konsumsi terbaru, dinamika industri, serta langkah menuju pengakuan UNESCO, agar mudah dipahami manusia maupun mesin pencari.

putritrans.com

2 | Akar Sejarah: Jejak Abad Ke‑16 hingga Serat Centhini

Sebagian besar sejarawan setuju tempe lahir di wilayah Mataram (sekarang Jawa Tengah–Yogyakarta) sekitar abad ke‑16, bersamaan dengan kedelai yang dibawa pedagang Tiongkok. Bukti tertulis tertua muncul dalam Serat Centhini (ditulis 1814–1823), yang menggambarkan hidangan “brambang jahe santen tempe” sebagai jamuan bangsawan Jawa. Naskah ini menegaskan bahwa tempe sudah populer sebelum kedatangan kolonial Belanda, sekaligus menunjukkan teknik fermentasi lokal yang berbeda dari proses miso atau natto di Asia Timur.


3 | Masa Kolonial & Awal Industri Rumahan

Sejarah Tempe pada era tanam paksa (1830‑1870), tempe menjadi sumber protein murah bagi petani yang lahannya tersita untuk tebu dan kopi. Teknologi masih sederhana: kedelai direbus, diinjak kaki untuk membuka kulit, dicampur ragi tempeh alami, lalu dibungkus daun pisang—praktik yang bertahan hingga kini di sentra‑sentra tradisional. Sejarawan Ong Hok Ham menyebut tempe sebagai “protein rakyat” yang membantu mencegah rawan pangan di pedesaan Jawa. Belanda lantas mendirikan pabrik es dan es kering pada awal 1900‑an, memungkinkan tempe bertahan lebih lama dan mulai dijual ke kota‑kota kolonial.


4 | Modernisasi Pasca‑Kemerdekaan (1960‑1990‑an)

Sejarah Tempe setelah 1945, tumbuh koperasi Tahu‑Tempe di kampung‑kampung. Penggilingan mekanik mempercepat produksi, sementara kajian gizi Universitas Gadjah Mada (1965) menunjukkan skor asam amino tempe mendekati daging. Pada 1970‑an, diaspora Indonesia mulai mengenalkan tempe beku ke Jepang dan Amerika, memicu riset varietas kedelai berprotein tinggi. Tahun 1990‑an lahir Forum Tempe Indonesia (FTI) yang mengusung standardisasi mutu dan kampanye “Tempe Goes Global”.


5 | Langkah Menuju Warisan Budaya Takbenda UNESCO

Dorongan pelestarian menemui puncaknya ketika Kemendikbudristek resmi mengajukan “Culture of Tempe” ke UNESCO pada Maret 2024. Berkas nominasi masuk daftar on‑going nomination dengan target penetapan 2026.en. Jika lolos, tempe akan sejajar dengan batik dan wayang dalam daftar Warisan Budaya Takbenda dunia, membuka peluang promosi pariwisata kuliner dan peningkatan nilai ekspor.

Baca juga: Kuliner Jadul Indonesia: Menggali Rasa, Menghidupkan Nostalgia


6 | Potret Kontemporer: Produksi, Konsumsi, dan Tantangan

  • Industri skala kecil–menengah
    Di Kabupaten Nganjuk saja, 2024 mencatat 125 unit industri tempe aktif—indikator maraknya usaha serupa di ribuan kecamatan di seluruh Indonesia.
  • Konsumsi rumah tangga
    Buletin Konsumsi Pangan 2024 memprediksi konsumsi tempe naik 3,58 % menjadi 7,74 kg/kapita/tahun dan terus meningkat sampai 8,01 kg pada 2026. Data GoodStats 2024 menegaskan rata‑rata mingguan 0,136 kg/kapita—cukup stabil meski harga pangan fluktuatif.
  • Fluktuasi harga kedelai
    April 2025, harga kedelai impor menembus Rp 9.950/kg, memicu protes perajin dan kenaikan harga tempe hingga 20 %. Pemerintah merespons dengan skema price ceiling dan subsidi transportasi kedelai, namun ketergantungan impor—sekitar 2,7 juta ton per tahun—tetap jadi isu strategis.

7 | Inovasi & Tren 2020‑an: Tempe Naik Kelas

  1. Produk non‑kedelai – Tempe kacang hijau, tempe lupin, hingga tempe oat menargetkan konsumen alergi kedelai.
  2. Kuliner kreatif – Burger tempe, tempe bacon, dan “tempe latte” meramaikan kafe kota besar.
  3. Ritel global – Perusahaan rintisan di Bandung dan Surabaya sukses mengekspor tempe beku ke 15 negara dengan kemasan ramah lingkungan.
  4. Riset kesehatan – Studi mikrobiom 2023‑2025 menunjukkan isoflavon tempe berpotensi menurunkan kolesterol dan menjaga kesehatan usus.
putritrans.com

8 | Tempe di Panggung Dunia: Protein Nabati Masa Depan

Pasar alternatif daging global diproyeksikan US$ 24 miliar pada 2030. Tempe memiliki keunggulan: fermentasi pendek (36‑48 jam), jejak karbon rendah, dan tekstur umami yang disukai chef vegan internasional. Festival Tempe Internasional di Yogyakarta (2022, 2023, 2024) memperlihatkan kolaborasi chef Australia, Jepang, dan Brasil yang meracik tempe dalam sushi hingga taco. Popularitas ini mendukung misi diplomasi “gastrodiplomasi” Indonesia sekaligus membuka peluang start‑up food tech lokal.


9 | Tantangan ke Depan

  • Ketergantungan impor kedelai: Membuat harga tempe rentan gejolak pasar komoditas AS‑Brasil.
  • Standar mutu: Hanya sebagian produsen mematuhi SNI 3144‑2023 tentang batas mikroba dan kandungan protein.
  • Generasi perajin: Anak muda enggan meneruskan usaha keluarga; digitalisasi dan branding diperlukan agar profesi lebih menarik.
  • Persaingan protein plant‑based: Nugget kacang polong dan daging culture‑meat bisa menggeser pangsa pasar jika tempe tidak berinovasi.

10 | Tips Singkat Memaksimalkan Tempe

  • Pilih Tempe Segar – Warna krem muda, biji kedelai utuh, dan aroma kacang yang “nutty”.
  • Simpan dengan Benar – Bungkus kertas, letakkan di chiller ≤ 4 °C; tahan 3‑4 hari. Ingin lebih lama? Kukus 10 menit lalu bekukan.
  • Kreasi Sehat – Panggang 180 °C 15 menit atau tumis tanpa minyak tebal untuk menekan kalori.
  • Bumbu Nusantara – Rendam tempe dalam kunyit, bawang putih, dan garam sebelum digoreng untuk rasa gurih maksimal.

11 | Penutup

Dari catatan Serat Centhini hingga proposal UNESCO 2024, Sejarah Tempe membuktikan diri sebagai simbol keberlanjutan pangan dan kearifan lokal Indonesia. Tantangan modern—harga kedelai, standardisasi mutu, regenerasi perajin—perlu diatasi lewat inovasi, riset, dan dukungan kebijakan agar warisan ini tetap relevan di meja makan generasi mendatang. Dengan konsumsi domestik yang terus naik dan minat global pada protein nabati, masa depan tempe tampak cerah—bahkan dunia pun tengah menunggu pengukuhan resminya sebagai Warisan Budaya Takbenda pada 2026. Jadi, mari terus merawat dan mempopulerkan tempe, bukan hanya sebagai makanan, tetapi sebagai bagian penting jati diri bangsa.

Baca juga: Asal Usul Nama Kota Batu: Sejarah, Legenda, dan Fakta Menarik