Menelusuri Jejak Samin Surosentiko, Lembar Terlupakan dari Perlawanan Rakyat Blora. Di tengah hingar-bingar narasi sejarah nasional yang didominasi oleh tokoh-tokoh bersenjata, ada satu lembar perlawanan rakyat yang kerap terlupakan—gerakan damai dari pedalaman Blora, Jawa Tengah, yang digagas oleh seorang petani biasa bernama Raden Kohar, lebih dikenal dengan nama Samin Surosentiko.

Gerakan ini bukan sekadar kisah lokal, tetapi refleksi tentang bagaimana rakyat kecil menggunakan cara-cara non-kekerasan untuk menantang ketidakadilan kolonial.

Kini, saat dunia mulai menengok kembali sejarah alternatif, penting rasanya untuk menelusuri kembali jejak Samin Surosentiko dan warisannya yang nyaris hilang dari ingatan kolektif bangsa.

Baca juga : Rembang, Jejak Perjuangan Kartini: Antara Sejarah, Wisata, dan Emansipasi yang Jarang Diketahui

Latar Belakang: Blora dan Ketimpangan Kolonial

Blora pada akhir abad ke-19 adalah wilayah yang keras—panas, kering, dan penuh tekanan dari sistem kolonial yang mengeksploitasi sumber daya alam maupun manusia. Kawasan ini dikenal dengan hasil hutan jatinya yang berkualitas tinggi. Namun, keuntungan besar dari industri kehutanan justru hanya mengalir ke kas Pemerintah Hindia Belanda dan perusahaan-perusahaan kolonial seperti Perhutani versi awalnya, sementara rakyat Blora hanya menjadi buruh kasar di tanah mereka sendiri.

Kondisi inilah yang kemudian menyulut api perlawanan dalam diri Samin Surosentiko. Ia lahir pada 1859 di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung, Blora. Meski berasal dari keluarga petani, Raden Kohar memiliki pandangan yang tajam terhadap ketimpangan sosial dan ketidakadilan struktural yang dilakukan oleh kolonial. Ia tidak mengangkat senjata, melainkan menawarkan cara yang jauh berbeda: perlawanan moral dan ideologis.

Filosofi Samin: Melawan Tanpa Kekerasan

Gerakan yang dipelopori oleh Samin dikenal sebagai Gerakan Samin, dan para pengikutnya dijuluki Sedulur Sikep. Mereka dikenal karena menolak membayar pajak, menolak kerja rodi, dan enggan tunduk pada peraturan kolonial yang dianggap tidak adil.

Namun, yang membedakan gerakan ini dengan perlawanan lainnya adalah pendekatannya yang sepenuhnya damai. Para pengikut Samin tidak melakukan sabotase atau kekerasan fisik, melainkan memilih untuk hidup dalam prinsip “ora obah, ora mamah”—tidak bergerak (bekerja untuk kolonial), maka tidak makan. Mereka lebih memilih miskin tapi merdeka secara moral.

Samin Surosentiko mengajarkan pentingnya kejujuran, kesederhanaan, dan keikhlasan. Ajarannya tidak tertulis, tetapi diturunkan dari mulut ke mulut. Salah satu inti ajarannya berbunyi, “Ora usah melu pamarentah, ora usah mbayar pajak, lan ora usah pracaya karo pamarentah Hindia Walanda,” yang berarti “Tidak perlu mengikuti pemerintahan, tidak perlu membayar pajak, dan jangan percaya pada pemerintahan Hindia Belanda.” Ini adalah bentuk pembangkangan sipil yang sangat canggih untuk zamannya.

Baca juga : 7 Tips Makan Sehat Selama Perjalanan Jauh yang Wajib Kamu Tahu!

Reaksi Kolonial: Penangkapan dan Pengasingan

Tentu saja, Pemerintah Hindia Belanda tidak tinggal diam melihat pengaruh Samin yang semakin meluas. Pada 1907, Samin Surosentiko ditangkap dan dibuang ke Padang, Sumatera Barat. Namun, alih-alih memadamkan gerakan ini, tindakan tersebut justru memperkuat solidaritas di antara para pengikutnya. Mereka tetap melanjutkan ajaran Samin meski tanpa kehadiran pemimpinnya.

Bahkan setelah Samin Surosentiko wafat pada tahun 1914, semangatnya tidak luntur. Pengaruhnya tetap terasa di berbagai desa di Blora, Bojonegoro, hingga Pati. Hingga kini, komunitas Sedulur Sikep masih hidup, meski dalam jumlah yang kecil, menjaga nilai-nilai leluhur yang menolak keserakahan, konsumerisme, dan kekuasaan yang menindas.

Warisan yang Terlupakan dan Relevansi Hari Ini

Sayangnya, jejak Samin Surosentiko tidak banyak tercatat dalam buku sejarah resmi. Namanya nyaris tak pernah muncul dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Padahal, di era modern ini, ketika dunia semakin menyadari pentingnya civil disobedience atau pembangkangan sipil damai, warisan Samin menjadi semakin relevan.

Di tengah gelombang protes sosial, kerusakan lingkungan, dan krisis identitas budaya, ajaran Samin tentang hidup selaras dengan alam dan menolak keserakahan kembali terdengar seperti bisikan arif dari masa lalu. Ketika banyak orang mulai mempertanyakan nilai-nilai modernitas dan sistem ekonomi kapitalistik, filosofi Samin menawarkan alternatif yang membumi: hidup sederhana, bekerja secukupnya, dan menjaga keharmonisan dengan sesama serta alam.

Menelusuri Jejak Fisik dan Budaya Samin Hari Ini

Jika Anda ingin menyelami lebih dalam, jejak Samin Surosentiko masih bisa ditelusuri di desa-desa seperti Klopoduwur di Blora, atau Sukolilo di Pati. Di tempat-tempat ini, komunitas Sedulur Sikep masih mempraktikkan gaya hidup dan nilai-nilai yang diajarkan oleh Samin. Mereka menolak kartu identitas, tidak memilih dalam pemilu, dan tetap teguh pada prinsip hidup mereka meskipun tekanan modernisasi semakin kuat.

Beberapa komunitas bahkan mulai membuka diri untuk dialog dengan akademisi, jurnalis, dan wisatawan yang ingin memahami filosofi hidup mereka. Namun, mereka tetap waspada terhadap intervensi luar yang bisa mengganggu kemurnian ajaran Samin.

Kesimpulan: Mengangkat Kembali Suara yang Terpinggirkan

Kisah Samin Surosentiko bukan sekadar cerita lokal dari Blora. Ini adalah narasi alternatif dari perlawanan terhadap penjajahan dan ketidakadilan, yang tidak mengandalkan kekuatan fisik, tetapi pada kekuatan moral dan prinsip. Di saat dunia modern sedang mencari ulang arah moralnya, Samin Surosentiko hadir sebagai pengingat bahwa keberanian tidak selalu berbentuk senjata, dan perlawanan tidak selalu harus merusak.

Sudah saatnya sejarah Samin Surosentiko kembali diangkat ke permukaan. Bukan hanya sebagai penghormatan terhadap tokoh lokal, tetapi sebagai bagian dari mozaik besar perjuangan bangsa Indonesia yang penuh warna. Menelusuri jejaknya adalah menelusuri ulang makna perlawanan yang sejati: perlawanan yang tidak mengorbankan hati nurani.

Baca juga : Hari Raya Waisak: Makna, Sejarah, Tradisi, dan Refleksi Spiritual